Snouck Hurgronje mengatakan Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13 M melalui pedagang Gujarat (India). Pandangan yang disebut Teori Gujarat ini kemudian tertolak karena mayoritas muslim India bermazhab fikih Hanafi sedangkan muslim Nusantara bermazhab fikih Syafi’i.
Selain itu, pada abad ke-13 sudah berdiri kerajaan Islam di Nusantara, seperti Samudra Pasai. Sehingga tidak mungkin Islam begitu masuk langsung mendirikan kerajaan.
Sementara Slamet Muljana dalam bukunya, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, mengatakan bahwa Islam yang paling awal sampai di Asia Tenggara adalah aliran Syiah dari Persia.
Slamet Muljana juga mengatakan bahwa Wali Songo berasal dari Tiongkok dan memiliki nama Tionghoa. Pandangan dalam buku tersebut kemudian menjadi landasan Teori Persia dan Teori China.
Namun Teori Persia tertolak karena aliran Syiah baru dominan di Persia setelah abad ke-16 ketika Kerajaan Safawi berkuasa. Sebelumnya, mayoritas penduduk Persia adalah Ahlus Sunnah.
Teori China juga tertolak karena sumber yang digunakan adalah data sekunder, yaitu buku MO Parlindungan yang berjudul Tuanku Rao. Data primer yang disebut buku tersebut, Naskah Kronik Cina asal Klenteng Sam Po Kong, ternyata tidak ada dan bahkan tidak diteliti oleh Slamet Muljana.
Selain itu, mayoritas muslim China bermazhab fikih Hanafi sedangkan muslim Nusantara bermazhab fikih Syafi’i.
Karena itu, masuknya Islam ke Nusantara sejatinya berasal dari Timur Tengah (wilayah Arab) sejak abad ke-7. Sedangkan Persia dan Gujarat merupakan tempat singgah pedagang Arab yang memperkenalkan Islam ke Nusantara. Pandangan ini antara lain disampaikan JC van Leur, TW Arnold, dan Buya Hamka.
Salah satu buktinya adalah naskah Sejarah Baru Dinasti Tang yang menyebutkan Kerajaan Ho-Ling (Kalingga) di pantai utara Jawa Tengah yang dipimpin Ratu Sima pada tahun 674 M. Naskah tersebut mengatakan Raja Da-zi tidak jadi menyerang Ho-Ling karena keadilan Ratu Sima.
WP Groeneveldt dalam bukunya, Nusantara dalam Catatan Tionghoa, mengatakan bahwa Da-zi merupakan nama yang umum digunakan untuk bangsa Arab dalam catatan-catatan sejarah Tiongkok. Lebih jauh Groeneveldt menjelaskan Da-zi berada di pantai barat Sumatra.[1]
Naskah berita Tiongkok tersebut menunjukkan pada abad ke-7 sudah ada pemukim Arab di pantai barat Sumatra. Mereka adalah kelompok dagang yang mencari komoditas dagang khas Nusantara, seperti kapur barus yang saking berharganya sampai disebut dalam Al Qur’an (QS. Al Insan: 5).
Walaupun sudah ada sejak abad ke-7, namun penyebaran Islam berlangsung secara bertahap dan hanya terhadap orang-orang yang berinteraksi langsung dengan pedagang Arab tersebut. Karena itulah Kerajaan Islam baru berdiri pada abad ke-13 di Nusantara.
Pada abad ke-14, Ibnu Batutah datang ke Samudra Pasai dan mencatat bahwa penduduknya bermazhab fikih Syafi’i. Saat itu mazhab fikih Syafi’i banyak digunakan penduduk Arab, Yaman, dan Mesir. Para penguasa Dinasti Ayyubiyah pun menggunakan mazhab tersebut.
Raja pertama Samudra Pasai, Meurah Silu (bertahta 1267–1297), mendapat gelar Sultan Malik as-Salih mengikuti gelar Sultan Dinasti Ayyubiyah, yaitu Malik as-Salih Najmuddin Ayyub (1205–1249).
Hal ini karena pada akhir abad ke-12 dan paruh pertama abad ke-13, Dinasti Ayyubiyah merupakan kekuatan politik Islam terkuat setelah sultan pertamanya, Shalahuddin al-Ayyubi, berhasil merebut Yerusalem dari Pasukan Salib pada tahun 1187.
Wali Songo
Setelah mengetahui proses masuknya Islam ke Nusantara, lantas di manakah peran Wali Songo?
Wali Songo adalah sembilan tokoh yang dianggap sebagai penyebar Islam pertama di tanah Jawa. Kisah mereka kerap didramatisasi dan dijadikan acuan dalam strategi dakwah Islam.
Padahal kisah mereka sarat dengan mitos yang tidak memiliki bukti sejarah. Seperti misalnya Sunan Kalijaga yang digambarkan berkumis tanpa jenggot, memakai pakaian surjan, dan mengenakan blangkon.
Penggambaran tersebut sejatinya baru muncul pada tahun 1970-an. Dibuat oleh pelukis berdasarkan inspirasi dari mimpi, bukan dari sumber sejarah.
Sedangkan di antara naskah awal yang sering dijadikan rujukan kisah Wali Songo adalah Babad Tanah Jawi. Naskah ini ditulis sekira abad ke-18, sementara Wali Songo hidup dalam kurun abad ke-15 dan 16.
Babad Tanah Jawi sendiri kerap dikritik karena banyak memasukkan mitos dalam penulisan kisah sejarahnya, misalnya menyebutkan bahwa raja-raja di Jawa merupakan keturunan para Nabi.
Selain itu, kisah-kisah tentang Wali Songo menyebutkan bahwa Wali Songo yang paling senior adalah Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik). Beliau adalah ayah dari Sunan Ampel, dan paman dari Sunan Giri.
Sunan Gresik tiba di Jawa pada akhir abad ke-14 atau awal abad ke-15. Sementara catatan perjalanan Laksamana Cheng Ho yang datang ke Jawa sekira tahun 1405 menyebutkan sudah ada masyarakat muslim di Jawa. Artinya, Sunan Gresik bukan muslim pertama di Jawa.
Peran Wali Songo dalam dakwah Islam memang tidak bisa dimungkiri, apalagi setelah berdiri kerajaan Islam pertama di Jawa, yaitu Kesultanan Demak pada tahun 1475. Namun kisah dakwah Wali Songo tetap harus didasari sumber sejarah, bukan mitos.
Selain itu, pengagungan kisah Wali Songo pun jangan sampai meniadakan peran penyebar dakwah Islam lainnya. Seperti misalnya Tuan Tunggang Parangan dan Datuk ri Bandang yang berperan menyebarkan Islam di Kutai (Kalimantan), Gowa dan Tallo (Sulawesi), serta Bima (Nusa Tenggara).
Pesan Dakwah Wali Songo
Sebuah naskah berisi ajaran Islam telah dibawa pelaut Eropa dari Jawa sekira abad ke-16. Naskah tersebut tersimpan selama lebih kurang tiga abad di perpustakaan Marquis Cristino, Ferrara, Italia.
Pada tahun 1978, naskah itu diterbitkan Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde dengan judul An Early Javanese Code of Muslim Ethics, oleh GJH Drewes.
Drewes menisbahkan isi buku itu sebagai ajaran Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik). Sunan Gresik membuka risalahnya dengan kalimat:
“Pada akhir zaman ketika hari kiamat akan tiba, ulama sejati dan orang taat pada ajaran agama akan lenyap, dan diganti orang yang suka berbuat bid’ah yang menyebabkan rancunya ajaran Islam bercampur dengan ajaran keliru dan sesat.”[2]
Demikianlah pesan dakwah Wali Songo, agar umat waspada akan bahaya bid’ah. Pesan ini pula yang telah disampaikan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabatnya, dan juga ulama-ulama penerus mereka.
Wallahu A’lam
📞 Hubungi kami di 0813-747-747-15 atau kunjungi situs kami di janamadinahwisata.co.id untuk informasi lebih lanjut dan pendaftaran. Jana Madinah Wisata siap membantu Anda merencanakan perjalanan haji yang tak terlupakan
Bersama Jana Madinah Wisata wujudkan perjalanan spiritual mu.
🕋 PT. Jana Madinah Wisata
(Provider Visa Haji Furoda)
Travel Umroh & Haji
"InsyaAllah Perjalanan Nyaman Sesuai Syariah"
INFO, PENDAFTARAN & KONSULTASI UMROH / HAJI :
📞 0813-7477-4715 (whatsApp/call)
🌐www.janamadinahwisata.co.id
Alamat Kantor Pusat Jana Madinah Wisata :
Jl. Pulo Sirih Utama No.297, RT.001/RW.015, Jaka Setia, Kec. Bekasi Selatan.
Bekasi, Jawa Barat 17147
#JMW
#JMW