Si Fulanah melakukan safar bersama suaminya menggunakan bus umum. Di tengah perjalanan, tibalah waktu salat Subuh dan petugas bus tidak berhenti, sehingga mengharuskan Fulanah untuk berwudu di toilet bus. Dalam keadaan seperti ini, membuka kerudung untuk berwudu tentu merupakan sesuatu yang sangat merepotkan. Apakah diperbolehkan bagi Fulanah untuk hanya mengusap kerudung sebagai ganti dari mengusap kepala di dalam wudu, atau dia harus membukanya untuk mengusap seluruh kepala?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan tuntas, berikut ini kami sampaikan pembahasan tentang ketentuan dan tata cara mengusap imamah dan kerudung ketika wudu.
Pendahuluan
Sebelum kita memulai pembahasan utama masalah ini, penting bagi kita untuk mengetahui beberapa hal berikut agar kita dapat memahami masalah ini dengan baik, yaitu:
Pertama: Pembahasan ini khusus tentang wudu. Sedangkan untuk mandi wajib (ghusl), harus melepas imamah atau kerudung.
Kedua: Jika ada luka di kepala dan diletakkan perban di atasnya, maka ini adalah masalah mengusap jabirah dan bukan pembahasan yang kita bahas di sini.
Ketiga: Menurut mazhab Syafi’i, mengusap imamah adalah mustahab (sunah), dan hal ini tidak cukup untuk dikatakan mengusap kepala, yang ini merupakan rukun wudu. Harus tetap ada bagian dari kepala yang diusap.
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab,
وأما إذا اقتصر على مسح العمامة ولم يمسح شيئا من رأسه فلا يجزيه بلا خلاف عندنا
“Dan jika seseorang hanya mengusap imamahnya tanpa mengusap sedikit pun dari kepalanya, maka itu tidak cukup baginya. Hal ini tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan kami.” [1]
Namun, yang benar adalah pendapat yang memperbolehkan mengusap imamah, dengan hanya mengusapnya saja tanpa mengusap kepala; dan ini merupakan pendapat Hanabilah. (sebagaimana akan dijelaskan di bawah) Wallahu a’lam.
Definisi mengusap imamah
“Mengusap imamah”, yang biasa diistilahkan ( المسح على العمامة – mengusap di atas imamah) tersusun dari dua kata utama, yaitu mengusap ( المَسْح ) dan imamah ( العمامة ).
Tentang ( المَسْح ), Al-Jurjaniy rahimahullah mengatakan,
المَسْح هو إمرارُ اليدِ المبتلَّةِ بلا تسييلٍ
“Mengusap adalah melewatkan tangan yang basah tanpa pengaliran (air).” [2]
Sedangkan tentang imamah ( العمامة ), disebutkan dalam kitab Mu’jam Musthalahat wal Alfadz Fiqhiyyah,
العمامة هي اللباس الذي يلف على الرأس تكويرًا
“Imamah (secara bahasa) adalah pakaian yang dibalutkan di kepala dengan cara melingkar.” [3]
Dalam istilah fikih, penggunaan kata-kata tersebut tidak keluar dari makna bahasa. Jadi, mengusap imamah “المسح على العمامة” dalam istilah fikih adalah melewatkan tangan yang basah tanpa pengaliran (air) pada pakaian yang dibalutkan di kepala dengan cara melingkar ketika berwudu. Wallahu a’lam
Hukum mengusap imamah
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai hukum mengusap imamah:
Hanafiyah: Mereka berpendapat bahwa tidak diperbolehkan mengusap imamah karena tidak ada kesulitan dalam melepasnya.
Malikiyah: Menyatakan bahwa mengusap imamah diperbolehkan jika dikhawatirkan adanya bahaya atau kerusakan dengan melepasnya dan tidak mampu untuk membukanya.
Syafi’iyah dan Hanabilah: Menyatakan bahwa mengusap imamah diperbolehkan. Namun, menurut Syafi’iyah, tidak cukup hanya mengusap atas imamah saja, tetapi harus juga mengusap bagian depan kepala bersamaan dengan imamah.
Pendapat yang sahih adalah diperbolehkan mengusap imamah dengan hanya mencukupkan dengannya, tanpa mengusap kepala. Ini merupakan pendapat yang terkenal dari mazhab Hambali [4], mazhab Dzahiri, dan juga pendapat mayoritas sahabat dan tabiin. Ini juga merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Mundzir, Ibnu Taymiyyah, Ibnu Al-Qayyim, Asy-Syaukani, Asy-Syanqiti, dan Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah. [5]
Dalil-dalil bolehnya mengusap imamah
Dari Al-Qur’an
Firman Allah Ta’ala dalam ayat wudu,
وَامْسَحُوا بِرُؤُوسِكُمْ
“Dan usaplah kepala kalian.” [6]
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah penjelas firman Allah dan penafsirnya. Dan beliau telah mengusap imamah-nya sebagaimana Allah Azza Wajalla telah memerintahkan mencuci kaki. Dan sunah Nabi telah datang dengan adanya keringanan mengusap khuf.
Dari As-Sunnah
Dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu,
أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم توضَّأ، فمسحَ بناصِيَتِه، وعلى العمامةِ، وعلى الخفَّينِ
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berwudu, lalu mengusap bagian depan kepalanya, imamah, dan kedua khuf.” [7]
Dari Amr bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu berkata,
رأيتُ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يمسَحُ على عِمامَتِه وخُفَّيه
“Saya melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap imamahnya dan kedua khufnya.” [8]
Dari Atsar (riwayat para sahabat)
Dari Abdur Rahman bin ‘Usailah As-Sunabihy rahimahullah berkata,
رأيتُ أبا بكر الصِّدِّيقَ يمسَحُ على الخِمارِ- يعني: في الوضوءِ
“Saya melihat Abu Bakar As-Siddiq mengusap atas khimarnya. Maksudnya: dalam wudu.” [9]
Dari Suwaid bin Ghafalah rahimahullah berkata,
سألتُ عُمرَ بن الخطَّاب عن المسحِ على العِمامةِ؟ قال: إنْ شئتَ فامسَحْ عليها، وإنْ شئتَ فلا
“Saya bertanya kepada Umar bin Al-Khattab tentang mengusap imamah? Beliau berkata, ‘Kamu boleh mengusapnya, boleh juga tidak mengusapnya.’” [10] [11]
Syarat-syarat mengusap imamah
Mengusap imamah memiliki syarat-syarat [12], yaitu:
Pertama: Dalam hadats kecil (wudu).
Kedua: Suci, yaitu imamah harus bersih dari najis.
Ketiga: Imamah harus menutupi seluruh kepala, kecuali bagian yang biasa terbuka seperti telinga, sebagian depan kepala, serta sisi-sisi kepala atau bagian belakangnya yang ini semua dimaafkan.
Keempat: Hanya laki-laki yang diperbolehkan untuk mengusap pada imamah (sedangkan untuk perempuan, maka boleh mengusap kerudung, sebagimana akan dijelaskan di bawah).
Apakah mencuci wajah dalam wudu cukup, sementara imamah menutupi sebagian darinya?
Imamah yang menutupi sebagian wajah, maka perlu dihilangkan dan diangkat, sehingga bisa membasuh seluruh wajah dengan benar ketika wudu. Mencuci wajah tidak cukup jika meninggalkan bagian yang tertutup oleh imamah. Allah Ta’ala berfirman,
فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ
“Maka basuhlah wajah-wajah kalian.” [13]
Batas wajah adalah dari tempat tumbuhnya rambut kepala yang biasa atau dari lengkung dahi sampai ke bagian yang lebih rendah dari pipi dan dagu secara vertikal, dan dari telinga ke telinga secara horizontal. Lihat: Al-Kafiy oleh Ibn Qudamah dan penjelasannya oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin.
Oleh karena itu, harus dihilangkan imamah dan diangkat dari wajah agar dapat mencakup seluruh wajah saat berwudu. Membasuh wajah tidak cukup jika meninggalkan bagian yang tertutup oleh imamah. [14] Wallahu a’lam.
Tata cara mengusap imamah
Usapan ( المسح ) adalah melewatkan tangan yang basah tanpa pengaliran (air), sebagaimana telah kita bahas sebelumnya.
Jika seseorang ingin mengusap imamah-nya sebagai pengganti mengusap kepala dalam wudu (lihat “Hukum Mengusap Imamah” di atas), maka ia harus mengusap sebagian besar dari imamah tersebut.
Jika hanya mengusap sebagian kecil, maka wudu tidak sah. Namun, jika mengusap seluruhnya, tidak ada masalah.
Disunahkan mengusap ubun-ubun yang terlihat (tidak tertutup imamah), sebagaimana telah disinggung pada “Hukum mengusap imamah” di atas. [15] Wallahu a’lam
Apakah boleh mengusap kerudung?
Khimar ( خمار ) / kerudung, yaitu pakaian yang digunakan untuk menutupi kepala.
Para ulama berselisih pendapat mengenai kebolehan mengusap kerudung. Sebagian mengatakan bahwa tidak boleh mengusap kerudung, sementara yang lain berpendapat bahwa boleh mengusap kerudung yang dikenakan sampai di bawah tenggorokan. Ini merupakan salah satu dari dua pendapat dalam mazhab Hanbali, dan ini adalah pendapat (mu’tamad) mazhab.
Pendapat yang benar adalah jika terdapat kesulitan, baik karena cuaca dingin atau kesulitan dalam melepas kerudung, maka ada kelonggaran dalam hal ini alias tidak masalah (yaitu, boleh mengusapnya). Namun, jika tidak ada kesulitan, lebih baik untuk tidak melakukan pengusapan, karena tidak ada nas yang sahih yang mendukung hal tersebut. [16]
Demikian penjelasan ringkas (insyaAllah menyeluruh) tentang mengusap imamah dan kerudung. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau.
🕋 PT. Jana Madinah Wisata
“InsyaAllah Perjalanan Nyaman Sesuai Syariah”
INFO, PENDAFTARAN & KONSULTASI UMROH :
📞 0813-7477-4715 (whatsApp/call)
🌐www.janamadinahwisata.co.id
Alamat Kantor Pusat Jana Madinah Wisata : Jl. Pulo Sirih Utama No.297, RT.001/RW.015, Jaka Setia, Kec. Bekasi Selatan. Bekasi, Jawa Barat 17147