dr Siti Utami Sri Wulandari atau yang akrab disapa dr Nuning menjadi sosok inspiratif di balik perjuangan dirinya 40 tahun mengidap thalasemia. Wanita paruh baya domisili Bekasi itu didiagnosis mengidap thalasemia saat balita.

Bukan hal mudah di usianya saat itu untuk berdamai dengan kenyataan dan menerima segala proses pengobatan yang perlu dijalani termasuk transfusi darah berulang. Bahkan, orangtuanya belum mengetahui betul apa itu penyakit thalasemia.


"Ibu saya waktu itu sampai frustrasi, depresi, tidak mau bertemu dengan orang, sempat tidak mau bekerja," ceritanya dalam media briefing Kemenkes RI Hari Thalasemia Sedunia, Selasa (7/6/2024).


Meski sempat kesulitan, orangtua akhirnya membawa Nuning berobat ke RSCM. Sedikit terobati, ibu Nuning bertemu banyak anak yang juga menghadapi kondisi serupa.


Namun, perjuangan tak terhenti di situ. Perjalanan pengobatan saat itu juga terbilang tidak mudah, selain harus mengantre, Nuning dan keluarga terpaksa bolak-balik dari Tasikmalaya ke Jakarta.


"Tentu itu tidak mudah, terlebih lagi ketika saya kelasi besi, kalau dulu kelasi besi disuntik di perut selama 10-12 jam, itu kan sulit untuk pengertian anak umur 3 tahun," sambungnya.


Dua kunci utama untuk akhirnya berdamai dengan keadaan menurutnya adalah dukungan keluarga, orang terdekat, dan disiplin menjalani pengobatan. Proses transfusi darah masih terus dijalani dr Nuning bahkan hingga akhirnya dirinya menjalani perkuliahan di fakultas kedokteran di Yarsi.


Membagi waktu proses perawatan dengan kebutuhan pendidikannya, juga cukup rumit. Namun, semangat Nuning untuk menjalani hidup sehat bak tidak pernah pudar, dirinya masih bisa rutin melakukan pengobatan di malam hari setelah kuliah.


Perjalanan panjang Nuning nyaris berbuah hasil, sampai dirinya bertemu dengan calon suami. Saat itu, ia mengaku masih maju mundur untuk melakukan pemeriksaan sebelum menikah.


Nuning mengaku tidak bisa menerima kenyataan jika nantinya harus terpisah dengan calon suami bila yang bersangkutan juga memiliki sifat pembawa thalasemia. Di satu sisi, Nuning juga tidak ingin mewariskan penyakit yang sama pada anaknya.


Beberapa hari setelah berpikir panjang, kabar gembira pun tiba, calon suami Nuning dinyatakan negatif thalasemia.


"Jadi memang agak maju mundur ketika kami akan menikah, berbicara kepada pasangan, pasangan tentu tidak mau dengan kenyataan kalau hasilnya ada thalasemia kita putus ya, itu yang membuat maju mundur," cerita dia.


"Tapi akhirnya diperiksa alhamdulillah kondisi suami saya sehat, akhirnya kami menikah dan sudah 17 tahun pernikahan sampai saat ini. Prestasi saya semasa hidup adalah kedisiplinan berobat, dan memiliki anak laki-laki yang sehat saat ini," pungkasnya.


Kisah Nining menjadi bukti nyata jika hidup tidak berakhir saat divonis thalasemia, hal sedini mungkin yang bisa dilakukan saat sudah tertular adalah mencegah agar tidak mewariskan penyakit yang sama pada generasi berikutnya.


Terinspirasi :

https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-7329665/kisah-haru-penyintas-thalasemia-calon-suami-sempat-maju-mundur-saat-mau-menikah